Menemukan kembali alasan untuk belajar bahasa asing

Dua tahun terakhir ini, Saya bertekad buat belajar bahasa Inggris. Dua tahunan udah berlalu, dan saya rasa progresnya nggak begitu signifikan. Udah beli buku berbahasa Inggris, niatnya buat nambah kosa kata sekalian praktek baca, nyatanya baru di 100 halaman pertama udah berhenti –udah terjadi di dua buku berbahasa Inggris–. Awalnya semangat dengerin podcast berbahasa inggris, semakin ke sini, eh makin ke sana. Hahaha. Setelah beberapa waktu berlalu, saya mulai sadar satu hal penting. Alasan saya belajar bahasa Inggris, lebih condong hanya untuk kebutuhan karir di masa depan. Apakah itu salah? Tentu sah-sah aja. Akan tetapi, alasan itu kurang manjur untuk membuat saya lebih konsisten. Sampai akhirnya di satu/dua bulan terakhir ini, potongan puzzle perlahan terpasang kembali. Singkatnya, ada 3 Hal yang membuat saya AKHIRNYA memulai lagi untuk belajar bahasa Inggris, setelah sebelumnya vakum.

1. Ketika baca buku Learning How to Learn, karya Prof. Barbara Oakley

Buku itu memberi gambaran penting untuk saya pribadi. BAHWA KETIKA SAYA SEDANG BELAJAR HAL BARU, JARINGAN OTAK BARU PUN TERBENTUK, namun masih rentan terhapus jika tidak dikuatkan dengan latihan dan pengulangan. Artinya, apa yang sudah saya pelajar tidak sia-sia, meskipun saya merasa MINIM PROGRESS. Kosa-kata yang sudah pernah saya hafalkan, sudah terekam otak. Dalam arti lain, saya sejatinya sudah BERPROGRES. Itu yang penting. Kalau kita ngerti, kita udah berprogres, motivasi akan lebih terjaga. Sebagaimana dalam sebuah riset yang pernah dilakukan oleh Teressa Amabile selama 15 tahun.

2. Kisah Sara Maria dan Benny Lewis yang saya baca di buku Hidden Potential karya Adam Grant

Kurang lebih ceritanya begini. Sara Maria berkenalan dengan seorang insinyur asal Irlandia bernama Benny Lewis dalam salah satu perjalanannya. Dalam waktu satu jam, keduanya dapat bercakap-cakap menggunakan bahasa Mandarin, Spanyol, Prancis, Inggris, dan bahasa isyarat Amerika. Bahkan Sara Maria dapat dengan santai mendengarkan kawannya yang berbahasa Indonesia. Kemampuan mereka dalam mempelajari bahasa baru, di luar rata-rata manusia pada umumnya. Sara dan Benny tidak sendiri. Ternyata masih banyak lagi poliglot, istilah untuk orang-orang yang mampu berbicara dan berpikir menggunakan lebih dari satu bahasa. Menarik mengetahui ada kelompok seperti itu. Akan tetapi lebih menarik lagi saat kita mengetahui “bagaimana mereka dapat melakukan itu?” Ya nggak?

Kata Adam Grant (penulis buku Think Again sekaligus profesor muda bidang psikologi di University of Pennsylvania), ketika mewawancarai Sara dan Benny, “Saya terkejut ketika mengetahui bahwa, saat akhirnya Sara dan Benny menguasai bahasa asing mereka yang pertama, keberhasilan itu diraih bukan karena faktor kognitif. Mereka berhasil belajar setelah menyingkirkan hal yang merintangi motivasi mereka selama ini: mereka belajar nyaman merasa tidak nyaman.

Kisah di atas cukup membuat saya seketika semakin tersadar kembali akan pentingnya “menyamankan diri dengan ketidaknyamanan saat belajar”. Belajar pengucapannya jujur bikin saya kurang nyaman. Beberapa kali mau coba saya KONTENIN, rasanya kayak “Ah takut salah pengucapannya”. Saya pun teringat petuah indah dari Imam As-Syafi’i yang cukup terkenal, “Barang siapa yang tidak mampu menahan lelahnya belajar, maka ia harus mampu menahan perihnya kebodohan”. Buat saya pribadi, ternyata di antara makna lelah adalah berusaha menyamankan diri dalam ketidaknyamanan saat belajar. Mindset saya sekarang berubah, “dianggap salah waktu ngucapin suatu kalimat, harusnya ya nggak masalah. Kan saya lagi belajar.”

3. Hadits tentang Zaid bin Tsabit yang diperintahkan oleh Rasulullah agar belajar bahasa Yahudi dan Suryaniyah, yang saya temui ketika baca buku Prophetic Parenting karya DR. Muhammad Nur Abdul Hafidz Suwaid

“…maka tidak apa-apa untuk mempelajari bahasa asing. Itu untuk membangun generasi Muslim yang dapat mengetahui rencana musuh sehingga terhindar dari tipu daya mereka. Juga untuk mentransfer pengetahuan material mereka agar dapat dimanfaatkan oleh kaum muslimin.” (Hal. 511)

Kemudian penulis membawakan hadits berikut:

Diriwayatkan oleh Abu Ya’la dan Ibnu Asakir dari Zaid bin Tsabit radhiyallahuanhu:
“…Beliau bersabda, “Hai Zaid, belajarlah bahasa Yahudi. Karena demi Allah, sesungguhnya aku tidak percaya kepada orang-orang Yahudi atas suratku.” Aku pun mempelajarinya. Tidak sampai setengah bulan, aku sudah menguasainya. Aku yang menulis surat ﷺ  kalau beliau berkirim surat kepada mereka, dan aku juga yang menerjemahkan surat mereka untuk beliau.” (Lihat Silsilah-al-Hadits ash-Shahihah Nomor 187).

Hadits ini menjadi penyempurna yang paling sempurna, yang mendorong saya buat kembali belajar bahasa asing –dalam kasus saya pribadi, bahasa inggris–

Pelajaran penting:

Pembahasan yang sering kita denger tentang PENTINGNYA PUNYA FAKTOR WHY YANG KUAT, bukan sekedar omon-omon. Kalau kita nemu FAKTOR WHY YANG KUAT, insyaAllah motivasi jadi lebih terjaga. Saya juga belajar bahwa faktor WHY dapat berubah-ubah kapan pun. Terkadang satu hal udah cukup menguatkan langkah kita di awal perjalanan. Namun seiring berjalannya waktu, terkadang faktor WHY itu perlahan melemah. Perlu ada pembaharuan supaya langkah kita nggak berhenti. Berdasarkan pengalaman pribadi, pembaharuan faktor WHY yang paling kuat, adalah dengan mengaitkannya dengan hadis/ayat yang spesifik. Kalau sekedar menggunakan diksi “disandarkan dengan agama”, menurut saya masih terlalu umum meskipun kalimat itu ya bener-bener aja. Semoga nangkep yang saya maksud ya.

Tentu udah sewajarnya kita terus berusaha membenahi niat di setiap aktivitas kita. Namun dalam konteks belajar bahasa asing, menemukan hadits/ayat spesifik, akan jauh lebih MEMOTIVASI atas izin Allah.

Terakhir, lagi-lagi terbukti. Saya lebih sering menemukan gagasan menarik dari buku, bukan dari konten pendek yang sering bersliweran di media sosial.